―Haruskah aku mengerti dunia ketika dunia tidak mengerti aku?
Aku adalah seekor lebah bersayap kecil. Aku hidup di taman yang
hijau dan berbunga banyak. Setiap hari aku melihat banyak manusia yang datang
mengunjungi taman ini. Aku menyukai manusia. Senyum mereka dan tawa mereka
adalah kebahagiaanku. Sesekali mereka mengambil maduku. Aku tahu bahwa mereka
amat menyukai madu, maka aku berusaha menghasilkan banyak madu dengan caraku
sendiri. Walau lelah tapi aku bahagia ketika melihat manusia tersenyum senang
menikmati madu yang aku punya.
Suatu hari ketika aku sedang sibuk menghasilkan madu, tiba-tiba
ada sekelompok manusia datang dan menangkapku. Mereka membawa banyak kertas
yang berisi jadwal-jadwal pekerjaan. Aku bingung dan hanya bisa pasrah mengikut
mereka. Aku dibawa ke dalam suatu ruangan yang dikelilingi kaca. Aku dikurung.
Aku pikir manusia adalah mahluk yang baik. Aku pikir tawa dan
senyum mereka hanya akan lahir dari perbuatanku yang tulus dalam mengasihi
mereka. Ternyata tulus saja tidak cukup untuk mereka. Tawa dan senyum itu
membutuhkan sesuatu yang lebih dariku. Aku dipaksa bekerja, semakin banyak
waktu yang aku habiskan untuk menyediakan madu semakin lebar tawa dan senyum
mereka. Ketika aku meminta untuk beristirahat sejenak, tawa dan senyum itu
hilang, menuduhku malas.
Tinggal disini dengan semua rutinitas dan tuntutan yang aku harus
penuhi benar-benar membuatku lelah. Tidak bisakah aku menghasilkan madu dengan
caraku sendiri? Haruskah manusia-manusia ini mengatur dan memperlakukan aku
seperti robot? Tidakkah mereka lihat bahwa hatiku sudah berontak lelah?