Senin, 15 Desember 2014

GAME OVER

Beberapa tahun lalu seorang perempuan mulai mengenal sebuah perasaan yang aneh. Dia hanya seorang gadis remaja. Waktu itu tujuannya pasti dan langkahnya pun pasti. Setiap hari dari pagi hingga malam tidak sedetik pun dia melupakan tujuannya. Pemikirannya fokus dengan sempurna pada hal yang harus dicapainya.

Setiap hari yang dilaluinya selalu sama dengan cara dan tujuan yang sama. Suatu hari mungkin dia mulai bosan dengan langkah yang diayunkannya. Fokusnya mulai sedikit buyar ketika ada seorang laki-laki disana. Seorang laki-laki yang baginya begitu lucu, hangat, rajin, baik, dan memesona. Hati perempuan itu sedikit demi sedikit mengalahkan pikirannya. Setiap ada kesempatan dia meluangkan waktu untuk menatap laki-laki itu walau hanya sedetik dua detik. Begitu bahagianya dia hanya dengan menatap saja.  Seakan-akan laki-laki itu menjadi obat atas kejenuhannya.

Perempuan itu masih menjalani hari-harinya seperti biasa, hanya saja sekarang rutinitasnya sedikit bertambah dengan menyempat-nyempatkan untuk sekadar memperhatikan laki-laki itu. Tibalah hari dimana hati perempuan itu benar-benar dicuri. Seperti biasa dia selalu harus menunggu kendaraan umum untuk pergi ke tempat dia akan mengusahakan tujuannya dua tahun belakangan. Tapi, pagi itu berbeda. Rasanya sepi sekali, tidak satu pun kendaraan yang lewat. Dia tidak pergi terlalu cepat dan ini bukan pagi mendung yang memaksa semua orang berdiam diri di rumah. Ini hanya pagi yang biasa.

Perempuan itu mulai bosan menunggu. Dalam hati dia berharap ada orang yang bisa memberi tumpangan. Ketika sedang asik berharap laki-laki itu berhenti tepat di hadapannya lalu mengajak pergi bersama. Tempat yang mereka tuju tidak begitu jauh, tapi sesungguhnya perempuan itu berharap tempat itu pindah sejauh mungkin. Tidak banyak hal yang terjadi selama mereka bersama dalam waktu singkat itu, hanya saja hati perempuan itu mulai benar-benar berdebar.

Semenjak hari itu, perempuan itu tidak lagi hanya ingin memperhatikan, hatinya mulai rakus. Dia tidak ingin hanya menatap atau berbicara dari kejauhan. Perempuan itu ingin memiliki. Perasaannya semakin egois.

Beberapa waktu berlalu mereka menjadi dekat. Keegoisan perempuan itu pun semakin tumbuh. Sampai akhirnya dia sadar perasaannya tidak terbalas. Sedih, kecewa, marah, dan benci. Mungkin itu semua adalah buah dari keegoisannya. Perempuan itu memutuskan untuk melupakan dan berpikir mungkin itu hanya cinta monyet. Lagi pula perempuan itu hanya seorang gadis remaja saat ini semua terjadi.

Suatu hari dia berkenalan dengan perasaan aneh lainnya. Sangat jauh berbeda dari perasaan yang sebelumnya terjadi. Dia diberi perhatian, kasih sayang dan kesabaran oleh seorang laki-laki yang selalu ada untuknya. Bodohnya, perempuan itu justru memutuskan untuk menjalani suatu hubungan dengan laki-laki ini pada hal di hatinya masih jelas-jelas di tempati oleh laki-laki yang dulu selalu di tatapnya. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan dia menjalani hubungan yang hanya dijadikannya pelampiasan. Sekarang perempuan itu tidak hanya egois, tapi dia juga berubah menjadi jahat hanya karena perasaan aneh itu.

Tidak heran bila pada akhirnya laki-laki baik itu hanya tersakiti oleh tingkah perempuan itu. Mereka berpisah. Perempuan itu merasa sepi. Laki-laki yang selalu ada itu pergi. Perempuan itu menyesal, bodoh sekali dia menyakiti laki-laki yang selalu ada hanya karena dia terikat dengan masa lalu bersama laki-laki yang mungkin tidak pernah menganggapnya ada. Dia menyesal dan menangis.

Perempuan itu sadar ternyata sulit sekali melupakan seseorang yang biasanya ada. Dia menjadi terbiasa menangis. Dia mulai berpikir, kemana pikirannya dulu? Kenapa sekarang hatinya sangat menguasai dirinya bahkan bertindak semena-mena terhadap hidupnya? Perempuan itu ternyata lemah sekali dalam masalah hati.

Dan, lagi-lagi laki-laki itu kembali muncul, laki-laki yang dulu membuyarkan pikirannya. Perempuan itu tidak marah bahkan setelah lama dia menghilang begitu saja. Perempuan itu justru bahagia. Perempuan itu memang bodoh. Mereka kembali dekat lalu jauh. Dekat dan lalu jauh. Selalu begitu. Laki-laki itu hanya datang dan pergi, datang lalu pergi. Perempuan itu tidak marah. Dia hanya merasa sakit.

Tapi, kini dia benar-benar merasa lelah dengan tingkah laki-laki itu yang datang dan pergi seenaknya. Mungkin ini sudah lebih dari tiga tahun. Mereka kembali dekat. Perasaan perempuan itu masih sama dengan saat pertama kali dia mulai menatap laki-laki itu. Hanya saja, kini perempuan itu tidak lagi egois. Baginya sekarang, ini bukan lagi cinta monyet yang harus memiliki. Dia sadar perasaan ini tidak hanya bicara tentang dirinya dan laki-laki itu saja. Perasaan ini menyangkut banyak hal. Ada komitmen, penerimaan apa adanya, keyakinan, keluarga, dan Tuhan di dalamnya. Dia tahu semua hal itu harus ada sebelum dia benar-benar menyetujui keberadaan perasaan itu dan semua hal itu harus benar-benar dipahaminya terlebih dahulu.

Sikap laki-laki itu yang selalu datang dan kemudian pergi menyadarkan perempuan itu bahwa mungkin saja perasaan ini hanya sebuah permainan yang harus segera diakhiri. Sulit memang membiarkan seseorang pergi, tapi bisa. Perempuan itu akhirnya memutuskan dan berusaha menjalani kepergiannya dengan sebaik mungkin.


Kamis, 04 Desember 2014

Hanya lewat sebuah tulisan ini semua bisa tersampaikan. Sekalipun orang itu tidak langsung mendengarnya atau sekalipun orang itu tidak mau mengerti dan percaya, atau bahkan sekalipun orang itu tidak pernah membaca tulisan ini, yang jelas disini semuanya akan tertuang. 

Aku serius, sekalipun ku sampaikan dengan gaya bercanda, semua itu serius, selalu serius. Tidak ada kata “main-main” dalam hal perasaan.

Memang ini sulit dimengerti. Bahkan aku sendiri tidak tahu harus menjelaskannya dengan cara bagaimana, yang jelas, jika bisa ku tolak semua ini maka akan ku tolak, jika bisa aku lari dari semua ini maka aku akan lari, bahkan jika bisa aku tidak mengenalmu maka aku akan lebih memilih untuk tidak mengenalmu. Lama, sangat lama semua ini mengungkungku. Rasanya seperti tidak bebas melihat ke arah lain, pada hal aku ingin melihat banyak hal. Pandanganku selalu tertuju padamu. Selalu. Ini serius.

Dan aku tidak mengerti, sangat tidak mengerti bagaimana cara mengatasi yang aku sedang rasakan. Semakin lama bagiku ini seperti penyakit. Mengingatmu, memikirkanmu, merindukanmu, menghubungimu. Penyakit yang harus segera disembuhkan. Tapi, kemana harus ku cari obatnya? Apa memang benar ada obatnya?

Aku merasa seperti tersesat dalam perasaanku sendiri. Berulang kali ku tegaskan dalam hati bahwa sesungguhnya perasaan ini tidak boleh ada. Tapi dia ada. Berkali-kali ku cari jalan keluarnya agar perasaan ini hilang, lenyap seketika. Tapi tidak bisa, smapai sekarang tidak bisa. 

Maka, kali ini akan ku perjelas. Bagiku, kamu spesial, entah spesial dalam bentuk apa, yang jelas spesial. Titik. Lebih jelas lagi yang sebenarnya ingin ku sampaikan bahwa sebentar lagi, aku yakin ini hanya sebentar lagi, aku akan segera menemukan jalan yang tepat, aku tidak akan tersesat lagi seperti sekarang, dan kamu akan segera aku hilangkan dari tempat spesial itu, Pasti. Tentu saja kamu tahu alasanya tanpa harus lebih ku perjelas lagi.

Selasa, 10 Juni 2014

Bukan Pesta Biasa

Pesta Demokrasi

Semenjak pesta demokrasi berlangsung, kira-kira sudah berapa banyak dosa yang Anda perbuat? Bicara soal pesta, pastilah yang terpikir adalah sesuatu yang meriah, banyak makanan, hura-hura, dan lain sebagainya. Pesta demokrasi sepertinya tidak jauh berbeda dari pengertian pesta ulang tahun, pesta pernikahan, pesta rumah baru dan pesta-pesta lainnya.

Dalam pesta demokrasi pun ada kemeriahan. Ya, kemeriahan dosa. Tiap hari, tiap jam, tiap menit, bahkan tiap detik ada saja berita yang muncul mengenai calon-calon pemimpin pemerintahan tersebut—entah berita itu fakta atau sekadar opini. Tapi yang jelas berita-berita itu meriah sekali terutama dalam media sosial—tempat Anda bebas berkata apa saja secara terbuka di hadapan publik. Dan yang lebih jelas lagi, berita-berita tersebut mudah sekali menyulut amarah orang lain yang bertentangan dengan apa yang disampaikan hingga akhirnya adu opini membuat pesta demokrasi ini semakin meriah.

Makanan? Jangan tanya soal makanan! Dalam pesta demokrasi sudah pasti ada banyak makanan. Ya, lagi-lagi makanan dosa. Opini yang bersifat negatif berserakan dimana-mana, berita yang menjelekkan orang lain dan belum pasti kebenarannya di-share dimana-mana, tuduhan, prasangka, bahkan cacian hingga makian menjadi makanan pokok dalam pesta demokrasi ini. Hati-hati, bila terlalu banyak memakan makanan seperti ini jangan-jangan perut Anda bisa menjadi buncit dosa nantinya.

Hal yang menjadikan pesta demokrasi ini lebih meriah lagi adalah ke-hura-hura-an. Sama seperti pesta lainnya, pesta demokrasi menjadikan pesertanya semakin larut, larut dan semakin larut di dalamnya. Lagi-lagi, semua ini akan bicara soal dosa. Pesta ini membuat lupa diri, lupa akan pepatah “mulutmu adalah harimaumu”, pesta ini membuat lupa akan salah satu nasehat Paulus di Efesus dalam kitab kaum Nasrani: ”Jangan ada perkataan yang kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun...” Pesta ini barangkali sudah sampai pada tahap memabukkan hingga perkataan-perkataan yang tidak penting berserak dimana-mana semenjak pesta ini berlangsung.

Tulisan ini muncul hanya atas keresahan diri sendiri :)


Minggu, 11 Mei 2014

Untukmu Mika yang Berulang Tahun dan Kak Fany yang Ku Rindukan

Kali ini tidak akan ku ingkari lagi, ya, aku memang sangat melankolis. Dua hari yang lalu salah satu orang yang terbaik dalam hidupku berulang tahun. Jujur aku bingung hendak merayakannya bagaimana. Biasanya kami bertiga, sekarang hanya berdua. Biasanya beberapa waktu sebelum sahabatku ini ulang tahun, aku dan seorang kakak sudah sibuk memikirkan kado, kue, dan segalanya yang bisa kami persiapkan. Selanjutnya, kami akan merayakan hari itu bertiga. Ya, hanya bertiga. Ulang tahun agape yang selalu eksklusif!

Walau hanya bertiga tapi rasanya begitu ramai dan ceria, seakan-akan kami tidak butuh orang lain untuk memeriahkan hari itu. Hanya kami bertiga dan itu sudah lebih dari cukup. Ketika satu dari kami pergi, rasanya aku kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Keramaian itu berubah sepi, kaku dan dingin. Pikirku, bagaimana caranya aku merayakan ulang tahun temanku ini bila kami tidak lengkap seperti biasanya.

Dengan sedih hati ku berikan kue kecil itu sebagai pertanda ulang tahunnya dua hari lebih lama. Entahlah, air mataku  menetes saja. Teringat tahun-tahun sebelumnya kami selalu bertiga. Suasana kali ini memang lebih ramai. Ada banyak orang disekeliling kami yang turut merayakannya, tapi aku justeru merasa lebih sepi. Tiba-tiba ketika hendak mengucapkan “Selamat Ulang Tahun” aku teringat seorang kakak yang selama ini bersama kami, seorang kakak yang selama ini mempedulikan kami, seorang kakak sekaligus sahabat terbaik kami.


Aku rindu merayakan ulang tahun Mika bertiga seperti biasanya. Entah kapan kita bisa bertemu dan merayakannya bersama Kak Fany lagi. Selamat ulang tahun Mika...tetaplah menjadi Mika yang baik, selalu sabar dan pengertian, tetaplah menjadi sahabat terbaik agape. Semoga bertambah kebaikan di dalam dirimu dan berkurang segala yang tidak baik. Semoga Tuhan mendengarkan setiap pergumulan terutama dalam studimu. Tetap semangat dan ceria J







Kamis, 27 Maret 2014

Aku dan Mereka


―Haruskah aku mengerti dunia ketika dunia tidak mengerti aku?

Aku adalah seekor lebah bersayap kecil. Aku hidup di taman yang hijau dan berbunga banyak. Setiap hari aku melihat banyak manusia yang datang mengunjungi taman ini. Aku menyukai manusia. Senyum mereka dan tawa mereka adalah kebahagiaanku. Sesekali mereka mengambil maduku. Aku tahu bahwa mereka amat menyukai madu, maka aku berusaha menghasilkan banyak madu dengan caraku sendiri. Walau lelah tapi aku bahagia ketika melihat manusia tersenyum senang menikmati madu yang aku punya.

Suatu hari ketika aku sedang sibuk menghasilkan madu, tiba-tiba ada sekelompok manusia datang dan menangkapku. Mereka membawa banyak kertas yang berisi jadwal-jadwal pekerjaan. Aku bingung dan hanya bisa pasrah mengikut mereka. Aku dibawa ke dalam suatu ruangan yang dikelilingi kaca. Aku dikurung.

Aku pikir manusia adalah mahluk yang baik. Aku pikir tawa dan senyum mereka hanya akan lahir dari perbuatanku yang tulus dalam mengasihi mereka. Ternyata tulus saja tidak cukup untuk mereka. Tawa dan senyum itu membutuhkan sesuatu yang lebih dariku. Aku dipaksa bekerja, semakin banyak waktu yang aku habiskan untuk menyediakan madu semakin lebar tawa dan senyum mereka. Ketika aku meminta untuk beristirahat sejenak, tawa dan senyum itu hilang, menuduhku malas.

Tinggal disini dengan semua rutinitas dan tuntutan yang aku harus penuhi benar-benar membuatku lelah. Tidak bisakah aku menghasilkan madu dengan caraku sendiri? Haruskah manusia-manusia ini mengatur dan memperlakukan aku seperti robot? Tidakkah mereka lihat bahwa hatiku sudah berontak lelah?