How can you do this to me?
I’m your neighbor...your mother...your daughter...your wife...
How can you do this to anybody?
“The Stoning of Soraya M”, sebuah film yang berkisah tentang seorang
wanita—perasaannya, kesakitannya, amarahnya, ketegarannya, sedihnya, harga
dirinya dan perjuangannya. Dia adalah wanita bagi negerinya, anak bagi ayahnya,
istri bagi suaminya dan ibu bagi anak-anaknya ketika hukuman itu harus
menimpanya.
Banyak hal dalam film ini yang aku yakin dapat membuat kalian—para wanita
bahkan laki-laki—meneteskan air mata. Tentu saja bukan hanya kesedihan,
pelajaran moralnya yang menjadikan film ini serasa sempurna.
Diangkat dari kisah nyata, kehidupan seorang wanita negeri Iran. Cyrus
Nowrasteh, sang sutradara berhasil membawaku masuk ke dalam sebuah perasaan yang
entah bagaimana caraku untuk menamai perasaan itu. Aku dibuat marah, haru, benci,
sakit dan masih banyak lagi. Hatiku seperti diaduk-aduk saat menyaksikan semua
yang terjadi pada wanita ini.
Berkisah tentang Soraya, ibu 4 orang anak yang memiliki suami bejat. Berawal
dari nafsu sang suami yang ingin menikahi seorang gadis 14 tahun sehingga
membuatnya ingin mengakhiri perjalanan rumah tangga bersama Soraya. Pertama
kali sang suami melakukan jalur persuasif, melalui Sheik Hassan, Soraya dibujuk
agar menceraikan suaminya setelah itu menikah dengan dirinya. Namun Soraya
menolak karena memikirkan nasib anak-anaknya nanti. Kehabisan akal, sang suami
pun memutuskan untuk memfitnah Soraya melakukan zinah degan Hashem, seorang
duda di negeri itu. Akhirnya Ebrahim, pimpinan adat mereka memutuskan untuk
menghukum Soraya sesuai dengan ajaran Islam, yaitu hukum rajam.
Don't act like the hypocrite
Who thinks he can conceal his wiles
While loudly quoting the Koran
-Hafez, 14th Century Iranian Poet
Tidak bisa berbuat apa-apa, Soraya hanya mampu pasrah karena pembelaan yang
dilakukannya sia-sia. Zahra, bibi Soraya telah berusaha sekuat mungkin agar
Ebrahim membatalkan hukuman tersebut. Namun, mereka—suami Soraya dan Sheik
Hassan—mengatasnamakan keadilan hukum dalam Islam sehingga Soraya memang harus
dirajam.
Fim ini menyadarkanku tentang ketidakadilan, dimana seorang wanita sangat
rentan untuk dinyatakan bersalah walau dengan pembuktian yang tidak kuat.
Dosa—ditekankan pada zinah—adalah satu kata yang sangat sering dikaitkan dengan
wanita. “Seorang pria tidak mungkin melakukan zinah bila bukan si wanita yang
memulai”, setidaknya inilah bentuk pembelaan yang sering dilakukan orang-orang
diluar sana.
Aku ingat betul saat suami Soraya memukulinya dijalanan sambil meneriaki
Soraya dengan sebutan “perempuan jalang”. Tidak satupun diantara orang-orang
itu—masyarakat yang menyaksikan—yang menolong atau hanya sekadar menghentikan
perbuatan sang suami sampai akhirnya Zahra datang dan berusaha membawa Soraya
pulang. Dihadapan Ebrahim, dengan sangat yakin Soraya membatah tuduhan zinah
atas dirinya, namun tak satupun dari kata-kata Soraya yang dipercayai Ebrahim.
Ebrahim hanya mampu mempercayai segala fitnah tersebut karena Soraya tidak
memiliki saksi untuk membuktikan dia tidak bersalah. Satu lagi pelajaran yang
aku ambil dalam film ini, bahwa seorang pemimpin janganlah mengambil keputusan
dengan hanya melihat apa lagi hanya mendengar sebuah kejadian. Dalam mengambil
keputusan, seorang pemimpin adalah perpanjangan tangan Tuhan sehingga keputusan
itu mestinya diambil sesuai dengan apa yang Tuhan sampaikan padanya.
Dalam film ini, sebenarnya Ebrahim ragu akan keputusan yang telah di ambil.
Saat Ebrahim benar-benar akan menjatuhkan hukuman rajam pada Soraya, dia berdoa,
“Tuhan bila keputusan yang aku ambil ini salah, tolong beri aku pertanda.” Saat
hukuman rajam itu akan berlangsung, sebenarnya Tuhan menjawab doa Ebrahim. Banyak
pertanda untuknya, pertama, datang sebuah grup sirkus saat Soraya akan mulai
dilempari batu. Kedua, saat ayah Soraya—orang yang pertama kali harus
melemparkan batu pada Soraya—melemparkan batu ke arah Soraya, satu batu pun
tidak ada yang mengenai Soraya. Sampai disini Ebrahim masih belum peka juga terhadap
tanda yang Tuhan beri. Sampai akhirnya ad seorang wanita yang berbicara
lantang, “Tidakkah kau lihat itu Ebrahim? Itu pertanda dari Tuhan bahwa Soraya
tidak bersalah.” Namun Ebrahim tetap tidak mengacuhkan pertanda itu, ia terus
mempertahankan keputusan yang diambilnya hanya melalui apa yang dilihat dan
didengarnya tadi.
Hal seperti ini sering terjadi pada manusia. Saat dia meminta sesuatu pada
Tuhan, sebenarnya Tuhan telah memberi apa yang manusia itu pinta, hanya saja
manusialah yang sering tidak peka terhadap pemberian Tuhan.
Yang membuatku meneteskan air mata pertama kali dalam film ini adalah
ketika Zahra berusaha mendamaikan hati Soraya yang sedang berhadapan dengan
maut di depan mata. Aku ingat perkataan Soraya yang kira-kira begini, “Aku
tidak akan menangis untuk membuktikan bahwa aku tidak bersalah.” Seorang wanita
yang tegar dan kuat.
Saat Soraya akan delimpari oleh batu, aku seperti dibawa masuk kedalam kehidupannya.
Film ini sungguh berhasil menguras emosiku. Tatapan mata Soraya seperti
mengisyaratkan bahwa bukan kesakitan fisik yang sedang ia hadapi, tapi batinnya
yang terluka. Bagaimana mungkin seorang ayah tidak mempercayai anak
perempuannya sendiri dan akan segera melemparkan batu pada anaknya. Bagaimana mungkin
seorang suami memfitnah istrinya sendiri hanya demi menikahi gadis 14 tahun. Bagaimana
mungkin anak laki-lakinya tega melihat maut yang akan menjemput ibu yang
melahirkannya bahkan ia melibatkan diri dalam kematian itu. Tak bisa aku
bayangkan perasaan seperti apa yang membunuh Soraya waktu itu.
Menurutku film ini bukan mengajarkan tentang ajaran suatu agama tertentu, film ini mengajarkan bagaimana manusia menyalahi ajaran agama dengan memanfaatkan ajaran itu demi kepentingannya.
Kisah yang sangat menarik dan layak diketahui oleh dunia.