Rabu, 10 April 2013

The Stoning of Soraya M




How can you do this to me?
I’m your neighbor...your mother...your daughter...your wife...
How can you do this to anybody?

“The Stoning of Soraya M”, sebuah film yang berkisah tentang seorang wanita—perasaannya, kesakitannya, amarahnya, ketegarannya, sedihnya, harga dirinya dan perjuangannya. Dia adalah wanita bagi negerinya, anak bagi ayahnya, istri bagi suaminya dan ibu bagi anak-anaknya ketika hukuman itu harus menimpanya.

Banyak hal dalam film ini yang aku yakin dapat membuat kalian—para wanita bahkan laki-laki—meneteskan air mata. Tentu saja bukan hanya kesedihan, pelajaran moralnya yang menjadikan film ini serasa sempurna.

Diangkat dari kisah nyata, kehidupan seorang wanita negeri Iran. Cyrus Nowrasteh, sang sutradara berhasil membawaku masuk ke dalam sebuah perasaan yang entah bagaimana caraku untuk menamai perasaan itu. Aku dibuat marah, haru, benci, sakit dan masih banyak lagi. Hatiku seperti diaduk-aduk saat menyaksikan semua yang terjadi pada wanita ini.

Berkisah tentang Soraya, ibu 4 orang anak yang memiliki suami bejat. Berawal dari nafsu sang suami yang ingin menikahi seorang gadis 14 tahun sehingga membuatnya ingin mengakhiri perjalanan rumah tangga bersama Soraya. Pertama kali sang suami melakukan jalur persuasif, melalui Sheik Hassan, Soraya dibujuk agar menceraikan suaminya setelah itu menikah dengan dirinya. Namun Soraya menolak karena memikirkan nasib anak-anaknya nanti. Kehabisan akal, sang suami pun memutuskan untuk memfitnah Soraya melakukan zinah degan Hashem, seorang duda di negeri itu. Akhirnya Ebrahim, pimpinan adat mereka memutuskan untuk menghukum Soraya sesuai dengan ajaran Islam, yaitu hukum rajam.

Don't act like the hypocrite
Who thinks he can conceal his wiles
While loudly quoting the Koran
-Hafez, 14th Century Iranian Poet

Tidak bisa berbuat apa-apa, Soraya hanya mampu pasrah karena pembelaan yang dilakukannya sia-sia. Zahra, bibi Soraya telah berusaha sekuat mungkin agar Ebrahim membatalkan hukuman tersebut. Namun, mereka—suami Soraya dan Sheik Hassan—mengatasnamakan keadilan hukum dalam Islam sehingga Soraya memang harus dirajam.

Fim ini menyadarkanku tentang ketidakadilan, dimana seorang wanita sangat rentan untuk dinyatakan bersalah walau dengan pembuktian yang tidak kuat. Dosa—ditekankan pada zinah—adalah satu kata yang sangat sering dikaitkan dengan wanita. “Seorang pria tidak mungkin melakukan zinah bila bukan si wanita yang memulai”, setidaknya inilah bentuk pembelaan yang sering dilakukan orang-orang diluar sana.


Aku ingat betul saat suami Soraya memukulinya dijalanan sambil meneriaki Soraya dengan sebutan “perempuan jalang”. Tidak satupun diantara orang-orang itu—masyarakat yang menyaksikan—yang menolong atau hanya sekadar menghentikan perbuatan sang suami sampai akhirnya Zahra datang dan berusaha membawa Soraya pulang. Dihadapan Ebrahim, dengan sangat yakin Soraya membatah tuduhan zinah atas dirinya, namun tak satupun dari kata-kata Soraya yang dipercayai Ebrahim.

Ebrahim hanya mampu mempercayai segala fitnah tersebut karena Soraya tidak memiliki saksi untuk membuktikan dia tidak bersalah. Satu lagi pelajaran yang aku ambil dalam film ini, bahwa seorang pemimpin janganlah mengambil keputusan dengan hanya melihat apa lagi hanya mendengar sebuah kejadian. Dalam mengambil keputusan, seorang pemimpin adalah perpanjangan tangan Tuhan sehingga keputusan itu mestinya diambil sesuai dengan apa yang Tuhan sampaikan padanya.

Dalam film ini, sebenarnya Ebrahim ragu akan keputusan yang telah di ambil. Saat Ebrahim benar-benar akan menjatuhkan hukuman rajam pada Soraya, dia berdoa, “Tuhan bila keputusan yang aku ambil ini salah, tolong beri aku pertanda.” Saat hukuman rajam itu akan berlangsung, sebenarnya Tuhan menjawab doa Ebrahim. Banyak pertanda untuknya, pertama, datang sebuah grup sirkus saat Soraya akan mulai dilempari batu. Kedua, saat ayah Soraya—orang yang pertama kali harus melemparkan batu pada Soraya—melemparkan batu ke arah Soraya, satu batu pun tidak ada yang mengenai Soraya. Sampai disini Ebrahim masih belum peka juga terhadap tanda yang Tuhan beri. Sampai akhirnya ad seorang wanita yang berbicara lantang, “Tidakkah kau lihat itu Ebrahim? Itu pertanda dari Tuhan bahwa Soraya tidak bersalah.” Namun Ebrahim tetap tidak mengacuhkan pertanda itu, ia terus mempertahankan keputusan yang diambilnya hanya melalui apa yang dilihat dan didengarnya tadi.

Hal seperti ini sering terjadi pada manusia. Saat dia meminta sesuatu pada Tuhan, sebenarnya Tuhan telah memberi apa yang manusia itu pinta, hanya saja manusialah yang sering tidak peka terhadap pemberian Tuhan.

Yang membuatku meneteskan air mata pertama kali dalam film ini adalah ketika Zahra berusaha mendamaikan hati Soraya yang sedang berhadapan dengan maut di depan mata. Aku ingat perkataan Soraya yang kira-kira begini, “Aku tidak akan menangis untuk membuktikan bahwa aku tidak bersalah.” Seorang wanita yang tegar dan kuat.

Saat Soraya akan delimpari oleh batu, aku seperti dibawa masuk kedalam kehidupannya. Film ini sungguh berhasil menguras emosiku. Tatapan mata Soraya seperti mengisyaratkan bahwa bukan kesakitan fisik yang sedang ia hadapi, tapi batinnya yang terluka. Bagaimana mungkin seorang ayah tidak mempercayai anak perempuannya sendiri dan akan segera melemparkan batu pada anaknya. Bagaimana mungkin seorang suami memfitnah istrinya sendiri hanya demi menikahi gadis 14 tahun. Bagaimana mungkin anak laki-lakinya tega melihat maut yang akan menjemput ibu yang melahirkannya bahkan ia melibatkan diri dalam kematian itu. Tak bisa aku bayangkan perasaan seperti apa yang membunuh Soraya waktu itu.

Menurutku film ini bukan mengajarkan tentang ajaran suatu agama tertentu, film ini mengajarkan bagaimana manusia menyalahi ajaran agama dengan memanfaatkan ajaran itu demi kepentingannya. 

Kisah yang sangat menarik dan layak diketahui oleh dunia.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar