Selasa, 20 Agustus 2013

Malaikatku


Malaikatku...

Baru dua hari aku kembali menjalani aktivitas sebagai seorang mahasiswa tapi rasanya sungguh ingin kembali ke rumah, ingin memeluk malaikatku lagi. Ditengah-tengah kebisingan ini aku masih saja merasa sepi. Terkadang aku berpikir, “Ah, betapa manjanya aku.” Tapi sekarang aku tak mengapa disebut manja asal aku bisa bertemu malaikatku.

Aku benar-benar merindukannya. Rindu tangannya, rindu senyumnya, rindu omelannya, rindu semua yang ada padanya. Rasanya aku tak bisa apa-apa tanpanya. Aku rindu. Sungguh aku rindu malaikatku.


Senin, 19 Agustus 2013

Cara Dihidupku Belum Tentu Berhasil Dihidupmu


Selama liburan ini banyak pengalaman yang aku terima. Mulai dari yang pahit sampai pengalaman yang menyenangkan. Mulai dari kecelakaan yang menyebabkan kakiku harus di beri gips sampai pada perkenalan menyenangkan dengan orang-orang baru dihidupku. Satu hal yang cukup menarik, aku bertemu seseorang yang berbicara cukup panjang (O..O)

Seorang alumni USU jurusan Antropologi. Sejujurnya jurusan ini adalah salah satu jurusan yang sempat aku remehkan kala di bangku sekolah dulu. “Mahasiswanya pasti orang-orang yang asal-asalan kuliah.” Setidaknya inilah pemikiranku dulu—tanpa bermaksud menyinggung kawan-kawan dari jurusan serupa, semata-mata hanya ingin berlaku jujur. Setelah resmi menjadi seorang mahasiswa aku memperhatikan kawan-kawan dari jurusan ini. Sedikit demi sedikit pemikiran tadi berubah setelah melihat eksistensi mereka di lingkungan kampus. Pemikiran tadi semakin berubah setelah bertemu orang ini.

Beberapa minggu yang lalu saat aku mencelupkan diri dalam satu perkumpulan bernama Naposo HKBP Bukittinggi. Disini aku bertemu orang-orang gila dengan suara besar dari segala penjuru. Benar-benar menyenangkan melihat mereka apa lagi saat ikut bergabung bersama mereka. Rasanya enggan bila harus berpisah cukup lama dengan mereka saat masa kuliah nanti dimulai.

Perkumpulan ini membawaku berbincang-bincang dengan seseorang yang ku sebut “anak medan”. Beberapa kali bediskusi aku semakin yakin bahwa ternyata mahasiswa jurusan Antropologi sama sekali berbeda dari apa yang aku bayangkan dulu. Awalnya mulai dari diskusi—sebenarnya lebih tepat disebut debat—mengenai adaptasi orang-orang Medan di wilayah Sumatera Barat. Dalam diskusi (debat) itu aku merasa kalah. “Sepertinya orang ini cukup menguasai bidangnya”, pikirku.

Dalam kesempatan yang berbeda kami masih melakukan diskusi kecil-kecilan. Hingga entah dari mana awalnya orang ini bercerita mengenai keluarganya. Bagian-bagian tertentu dari ceritanya mirip dengan apa yang aku alami. Semakin lama mendengar ia berbicara semakin membuatku berhasrat untuk bertanya. “Berarti aku harus merantau jauh-jauh dulu biar bisa ngadapin orang keras, gitu ya bang?” Satu kalimat yang aku ingat dari jawabanya atas pertanyaanku, “Cara dihidupku belum tentu berhasil dihidupmu.” Kalimat yang aku ingat hingga kini. Aku berpikir ada benarnya juga perkataan orang ini.

Hidupku adalah hidupku, hidupmu adalah hidupmu. Bagaimana mungkin aku selesaikan permasalahanku dengan caramu, kita pasti punya cara masing-masing. Namun, terkadang aku merasa berat dalam beberapa bagian di hidupku hingga aku sulit menemukan sebuah cara, di saat seperti ini aku membutuhkan pertolongan dari orang lain untuk meminjamkan “caranya”. Ketika suatu masalah yang menyerang bagian terdalam di hidupku, yang berlaku hanyalah sebuah emosi, tidak ada logika. Disaat seperti ini aku pikir setiap manusia boleh meminjam atau lebih tepat meniru cara orang lain.

Selain merubah pikiranku terhadap orang-orang antropologi, beliau juga sedikit merubah pikiranku tentang anak medan.



Rabu, 07 Agustus 2013

Ho do mata mual i di au


Malam ini ketika dingin begitu jelas menusuk tulang. Diluar sana terdengar bunyi petasan dan berbagai percikan kembang api. Orang-orang sibuk merayakan malam takbiran. Aku dengan sebuah selendang coklat berdiam diri di kamar. Senandung lagu batak yang ku putar berkali-kali ikut menemani.

“Betapa romantisnya isi lagu ini. Pastilah mereka yang sedang jatuh cinta sangat cocok untuk mendengarnya.”

Sebulan yang lalu saudara laki-lakiku baru saja melangsungkan pernikahannya. Istrinya adalah temanku waktu sekolah dulu. Pasangan muda yang sudah resmi dihadapan Tuhan ini sekarang tinggal di rumah bersama orang tuaku, bersama keluargaku, bersamaku.

“Ahh...sungguh iri melihat mereka berdua.”

Temanku itu atau yang sekarang ku sebut kakak ipar melayani suaminya dengan baik. Mereka bercengkrama, sungguh indah. Tiba-tiba aku terpikir sesuatu. “Andai dia masih bersamaku mungkin takkan seiri ini melihat mereka.”

Setahun lebih sudah ku lewati. Aku masih saja merindukannya. Seorang mahasiswa hukum yang keras kepala. Anak Medan yang berhasil mematahkan hatiku. Seorang pria yang masih ku anggap kekasih walau sudah bukan milikku.

Dorman manik dan Rani Simbolon - Ho do mata mual i di au

 Ho do mata mual i di ahu..
 Ho do sasude dingoluki..
 Unang tinggalhon ahu ito hasian
 Holan ho do na di rohaki..

 Ndang na boi be tarlupahon ahu..
 Denggan ni basa mi da hasian..
 Manang didia pe huingot do..
 Padan naung tapuduni..

 Reff :

 Holong roham tu ahu..
 Songoni do rohaki..
 Dangna muba dangna mose i..

 Tiop ma tanganhon..
 Tapagomos ma ito..
 Padan naung tapudun i..

Rival


Sore ini ketika jari-jari jahilku sibuk mengotak-atik berbagai hal dalam dunia maya hingga sampai pada halaman blog pribadiku. Setelah melihat berbagai postingan lama sambil sedikit tertawa geli tiba-tiba mata ini—yang juga jahil—menengok ke sudut kiri atas. Disana tertulis sebuah nama “Rindang Mulia Rahmah” —salah satu members dari blog-ku dan juga salah satu sahabat terbaik selama aku menjejaki bangku perkuliahan.

Si tangan jahil langsung dengan sigap meng-klik halaman blog sahabatku itu. Dalam sekejap aku berubah menjadi stalker. Pelan-pelan aku baca apa-apa saja yang telah ditulis olehnya. Gadis melankolis asal Padang Panjang itu ternyata telah memenuhi blog-nya dengan berbagai curahan hati. Belum puas melihat tulisannya dibulan terakhir, aku terus menjejaki blog-nya hingga sampai pada tulisannya di waktu-waktu lampau.

Saat membaca tulisan-tulisannya bisa aku bayangkan gadis pecinta warna merah ini pastilah sangat bersahabat dengan hatinya karena semua yang ia curahkan dalam tulisannya sangat penuh dengan perasaan. Aku ingin seperti itu. Bukan sekadar melankolis, tapi aku ingin menjadikan ke-melankolisan-ku sebagai sebuah karya, karya yang layak diketahui dunia.

Wahai sahabatku bila nanti kau membaca tulisan ini—entah kapan pun itu—ketahuilah dirimu senantiasa aku jadikan pendorong semangatku dalam menulis. Kau rivalku, rival yang aku sayang :’)
“Suatu saat nanti aku berharap bisa menulis bersamamu.”







Senin, 05 Agustus 2013

Menunggu...


Teringat saat perjalanan pulang dari Padang menuju Bukittinggi beberapa waktu lampau. Saat panas bukan lagi halangan, bahkan bis kota yang bising pun terasa damai. Rasanya rela menunggu berjam-jam waktu keberangkatan. Menunggu bukan lagi menjadi sesuatu yang membosankan karna waktu itu aku tak sendri.  Ahh..andai dulu lebih pintar mengungkapkannya.

Sampai sekarang aku masih melakukan hal yang sama "Menunggu!" Dalam diam aku menangis sendirian, ya aku menunggu sendirian. Bukan saja membosankan, menunggu berubah menjadi satu kata yang menakutkan. Kadang ku pikir aku telah sampai dalam satu rasa bernama “putus asa”. Aku merasa lelah dan mensyukuri bila memang benar aku telah berputus asa untuk menunggu. Namun aku menjumpai diriku begitu kuat hingga tak mampu menciutkan nyali untuk berhenti menunggu. Terlihat seperti aku sedang menyiksa diriku sendiri.

Tapi bukankah semua ada batasnya? Seharusnya semua memang memiliki batas, termasuk menunggu. Aku lelah. Aku lelah. Aku lelah. Aku pun ingin memulai kisah yang baru. Tapi kenapa semua kisah yang mencoba masuk dalam hidupku selalu dibayang-bayangi masa lalu? Aku bukan sedang menunggu angkutan yang terlambat datang menjemput penumpangnya. Aku menunggu sepasang tangan yang sangat aku rindukan. Bolehkah aku berhenti sekarang? Berhenti menunggu hal tak pasti seperti ini. Ku mohon pergilah dari pikiranku dan tolong doakan aku seperti aku selalu mendoakanmu agar bahagia dengan siapapun yang menggantikan aku.