Selama liburan ini banyak pengalaman yang aku terima. Mulai dari yang pahit
sampai pengalaman yang menyenangkan. Mulai dari kecelakaan yang menyebabkan
kakiku harus di beri gips sampai pada perkenalan menyenangkan dengan
orang-orang baru dihidupku. Satu hal yang cukup menarik, aku bertemu seseorang
yang berbicara cukup panjang (O..O)
Seorang alumni USU jurusan Antropologi. Sejujurnya jurusan ini adalah salah
satu jurusan yang sempat aku remehkan kala di bangku sekolah dulu.
“Mahasiswanya pasti orang-orang yang asal-asalan kuliah.” Setidaknya inilah
pemikiranku dulu—tanpa bermaksud menyinggung kawan-kawan dari jurusan serupa,
semata-mata hanya ingin berlaku jujur. Setelah resmi menjadi seorang mahasiswa
aku memperhatikan kawan-kawan dari jurusan ini. Sedikit demi sedikit pemikiran
tadi berubah setelah melihat eksistensi mereka di lingkungan kampus. Pemikiran
tadi semakin berubah setelah bertemu orang ini.
Beberapa minggu yang lalu saat aku mencelupkan diri dalam satu perkumpulan
bernama Naposo HKBP Bukittinggi. Disini aku bertemu orang-orang gila dengan
suara besar dari segala penjuru. Benar-benar menyenangkan melihat mereka apa
lagi saat ikut bergabung bersama mereka. Rasanya enggan bila harus berpisah
cukup lama dengan mereka saat masa kuliah nanti dimulai.
Perkumpulan ini membawaku berbincang-bincang dengan seseorang yang ku sebut
“anak medan”. Beberapa kali bediskusi aku semakin yakin bahwa ternyata mahasiswa
jurusan Antropologi sama sekali berbeda dari apa yang aku bayangkan dulu.
Awalnya mulai dari diskusi—sebenarnya lebih tepat disebut debat—mengenai
adaptasi orang-orang Medan di wilayah Sumatera Barat. Dalam diskusi (debat) itu
aku merasa kalah. “Sepertinya orang ini cukup menguasai bidangnya”, pikirku.
Dalam kesempatan yang berbeda kami masih melakukan diskusi kecil-kecilan.
Hingga entah dari mana awalnya orang ini bercerita mengenai keluarganya.
Bagian-bagian tertentu dari ceritanya mirip dengan apa yang aku alami. Semakin
lama mendengar ia berbicara semakin membuatku berhasrat untuk bertanya.
“Berarti aku harus merantau jauh-jauh dulu biar bisa ngadapin orang keras, gitu ya bang?” Satu kalimat yang aku ingat
dari jawabanya atas pertanyaanku, “Cara dihidupku belum tentu berhasil
dihidupmu.” Kalimat yang aku ingat hingga kini. Aku berpikir ada benarnya juga perkataan
orang ini.
Hidupku adalah hidupku, hidupmu adalah hidupmu. Bagaimana mungkin aku
selesaikan permasalahanku dengan caramu, kita pasti punya cara masing-masing. Namun,
terkadang aku merasa berat dalam beberapa bagian di hidupku hingga aku sulit
menemukan sebuah cara, di saat seperti ini aku membutuhkan pertolongan dari
orang lain untuk meminjamkan “caranya”. Ketika suatu masalah yang menyerang
bagian terdalam di hidupku, yang berlaku hanyalah sebuah emosi, tidak ada
logika. Disaat seperti ini aku pikir setiap manusia boleh meminjam atau lebih
tepat meniru cara orang lain.
Selain merubah pikiranku terhadap orang-orang antropologi, beliau juga sedikit merubah pikiranku tentang anak medan.