Rabu, 28 November 2012

Semangat Membangun Bangsa di Bukit Lampu

Anak muda zaman sekarang sepertinya lebih suka tempat yang tinggi-tinggi setelah takut di gulung air di tempat yang rendah. Peralihan tempat pendewasaan diri kini berpindah dari “tenda ceper” ke Bukit Lampu, Pungus, Padang. Demi mencapai tingkat kedewasaan sepertinya anak-anak muda ini membutuhkan tempat yang indah dan jauh dari jangkauan. Mungkin disanalah mereka bisa berkonsentrasi memikirkan masa depan yang lebih cerah. Andai kata tempat seperti ini dari dahulu kala disediakan pemerintah, mungkin Indonesia hari ini bisa menempati bangsa dengan jumlah penduduk terbanyak. Mungkin kinerja pemerintah yang kurang baik dalam hal fasilitas.
Bukit lampu bukan sekedar bermanfaat bagi pemuda-pemudi yang diharapkan membangun bangsa, tempat ini juga sangat berarti penting bagi penduduk sekitar. Banyak dari penduduk yang menggantungkan hidup dari suasana surganya adam dan hawa tersebut. Proses simbiosis mutualisme antar penduduk dan pemuda ini berjalan dengan baik, bahkan sangat baik. Penduduk mendapat rezeki dan pemuda mendapat seks edukasi alami.
Muda-mudi kota Padang sepertinya lebih tertarik memadu kasih di tempat terbuka dibandingkan dengan tempat yang memiliki privasi. Mungkin karena faktor materi, maklumlah muda-mudi sekarang cerdas memahami kondisi negara yang sedang krisis keuangan. Pastilah pemerintah bangga pada muda-mudi seperti ini yang mampu berpikir kreatif untuk melakukan kegiatan prostitusi. Buktinya, pemerintah hanya diam-diam saja melihat kegiatan ini berlangsung, bahkan mungkin di kursi empuk sana pemerintah tersenyum manis melihat kehebatan anak bangsanya.
Ada dua keuntungan sekaligus dari tempat ini bagi para pemuda. Pertama seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa para pemuda bisa menghemat uang saku, dan yang kedua adalah para pemuda bisa menikmati indahnya pemandangan yang patut dan yang tidak patut. Mungkin standar kepatutan itu yang sudah luntur sehingga para pemuda agak kesulitan membedakannya. Sepertinya Indonesia, bangsa yang menjunjung tinggi nilai serta norma pancasila ini lupa menegaskan pada anak bangsanya mengenai akhlak yang baik.
Begitu semangatnya muda-mudi ini menumbuh-kembangkan jumlah penerus bangsa. Mereka mungkin berpikir semakin banyak jumlah penduduk maka akan semakin besar peluang tumbuhnya pahlawan bangsa masa depan. Bisa jadi pemerintah berpikiran sama sehingga tempat-tempat seperti Bukit Lampu ini dibiarkan merajarela.

Senin, 26 November 2012

Bebaskan Palestina, Apa Kabar Indonesia?

Minggu, 25 November 2012 dilaksanakan aksi oleh sekelompok pemuda-pemudi di kota Padang dalam rangka menggalang bantuan untuk rakyat Palestina. “Save Palestina, hancurkan Israel”, demikian yel-yel yang mereka teriakan dengan penuh semangat. Dibawah terik matahari yang sangat menyengat, siang itu berawal dari GOR Agus Salim sekelompok pemuda-pemudi ini berjalan hingga Mesjid Nurul Iman. Tidak sekedar menyuarakan kebebasan Palestina, para pelaku aksi ini juga menggalang dana ke beberapa kendaraan yang sedang berhenti karena jalannya terhalang oleh aksi tersebut. Selain itu mereka juga mengenakan beberapa atribut dalam melancarkan aksi seperti menjunjung bendera Palestina, membawa papan-papan tulisan berisi suara-suara empati pada Palestina, serta atribut-atribut lainnya yang melambangkan dukungan terhadap negeri yang sedang dilanda konflik itu.
Sungguh suatu perbuatan baik yang menunjukan betapa pedulinya pemuda-pemudi Indonesia terhadap penderitaan yang sedang terjadi di Palestina. Hati siapa yang tidak tergugah melihat kejadian di negeri itu? Mulai dari orang dewasa bahkan anak-anak tak berdosa terpaksa menjadi korban karena perang yang tak kunjung berhenti. Ledakan bom terus terjadi, serangan balas-balasan tak henti dilakukan. Satu pihak pun tidak ada yang mau mengalah demi mewujudkan perdamaian. Bisa kita bayangkan apa yang harus dirasakan warga Palestina. Semua kegiatan mereka pastilah dihantui oleh perasaan cemas. Anak-anak tak bebas bermain, para wanita menangis melihat darah berserakan dimana-mana , para suami terpaksa meninggalkan keluarga demi membela tanah airnya. Tragis memang.
Melakukan suatu aksi adalah salah satu sarana yang tepat untuk menyalurkan bentuk kepedulian kita terhadap penderitaan rakyat Palestina. Kita patut memberikan pujian pada tindakan-tindakan seperti ini. Apa lagi jika kita melihat kondisi rakyat Indonesia yang semakin hari semakin sarat akan rasa peduli. Kita bisa perhatikan bahwa masyarakat Indonesia sekarang lebih bersifat individual hingga jarang kita temukan wujud kepedulian pada sesama. Tetapi pemuda-pemudi kota Padang ini telah berhasil membuktikan kepada kita bahwa rasa kepedulian itu masih ada.
Aksi yang dilakukan oleh sekelompok pemuda ini sepertinya juga mendapat perhatian dari pihak pemerintah, terbukti dari keterlibatan aparat kepolisian dalam mengamankan jalannya aksi tersebut. Ternyata pemerintah juga menunjukan rasa pedulinya terhadap rakyat Palestina yang jauh disana. Yang menjadi pertanyaan, kapan waktunya kita peduli terhadap permasalahan bangsa kita sendiri yang jelas-jelas ada di depan mata?
Tidak salah bahkan sangat dibenarkan bila kita berempati terhadap sahabat yang sedang kesulitan. Namun, apakah tidak lebih baik bila kita memberikan empati minimal dengan porsi yang sama terhadap saudara kandung sendiri?
Palestina adalah sebuah bangsa yang katanya berpotensi dijajah Israel. Kita, bangsa Indonesia tahu betul bagaimana rasanya dibawah tekanan penjajah. Bagaimana mungkin kita melupakan kenangan pahit selama dijajah yang konon terjadi selama berabad-abad? Tentunya sebagai bangsa berbudi dan berluhur tinggi kita tidak ingin bangsa lain merasakan penderitaan yang sama. Untuk itu kita harus memiliki tindakan, contohnya seperti yang dilakukan pemuda-pemudi kota Padang ini. Sebuah tindakan nyata yang pasti berbuah, walaupun tidak cukup banyak namun diyakini mampu meringankan sebagian penderitaan rakyat Palestina.
Berbicara soal penjajahan, mungkin karena terlalu sibuk melihat ke arah luar sehingga kita lupa kalau bangsa kita sendiri juga sedang berada di bawah kekuasaan penjajah dan perlu diselamatkan segera. Perang juga sedang terjadi di dalam negeri kita. Perang melawan kemiskinan, kebodohan, dan yang paling booming  adalah perang melawan korupsi. Kapan saatnya kita berteriak dengan gagah berani, “save Indonesia, hancurkan koruptor” seperti yang dilakukan pemuda-pemudi ini? Kapan saatnya kita menggalang recehan sepanjang jalan untuk diberikan pada keluarga sendiri yang sedang bersusah menahan lapar? Kapan saatnya kita mengangkat kepala untuk membebaskan saudara-saudara kita yang harus menyiksa diri di negeri orang sebagai pembantu rumah tangga? Kapan saatnya kita menjunjung tinggi bendera merah putih sambil berarak-arakan untuk mendamaikan sekumpulan orang yang sedang dalam masa konflik di negeri kita sendiri?
Seandainya seperti ini semangat kita misalnya saja untuk berusaha membuka akhlak para koruptor, untuk membebaskan keluarga-keluarga di Indonesia dari kemiskinan, untuk menolong para TKI yang sampai menantang nyawa hijrah ke negeri orang, atau mungkin untuk keluarga kita di Papua sana yang sedang dalam masa sulit bahkan hampir melepaskan diri dari ibu pertiwi. Pastilah bangsa kita bisa menjadi lebih baik dan tentunya akan berpotensi lebih besar lagi dalam membantu bangsa lain yang sedang kesulitan.
Sekali lagi, tidak salah bila kita berempati pada teman sebelah yang sedang dalam masa sulit. Tapi bisakah kita juga menaruh empati itu pada keluarga sendiri? Mengapa menutup mata untuk suatu hal yang jelas-jelas ada di depan mata kita dan membuka mata lebar-lebar untuk suatu hal yang jauh dari jangkauan? Satu hal yang salah, ialah kita tidak menyadari sesungguhnya kita pun perlu diselamatkan dari yang bernama penjajah.
Inilah kita, bangsa teramat baik yang sangat peka terhadap penderitaan orang lain. Namun sangat disayangkan kepekaan itu lenyap bila dihadapkan pada kondisi bangsa sendiri. Inilah kita, bangsa teramat mulia yang sangat menjunjung tinggi kemerdekaan bangsa lain. Namun sangat disayangkan junjungan itu tidak berarti untuk kemerdekaan bangsa sendiri. Sungguh ironis, bahkan rakyat Palestina pun lebih patut memberi dukungan pada bangsa kita.

Kamis, 22 November 2012

Aku pun Tersenyum :)


Sepenggal lirik dari sebuah lagu sedang berdendang di telingaku. Katanya, “menjauh darimu, darimu yang mulai berhenti, berhenti mencoba, mencoba bertahan, bertahan untuk terus bersamaku.” Tanpa sadar ku teteskan air mata saat mendegar alunan lagu ini. Mengapa? Entahlah! Aku pun tak ingin menyia-nyiakan air mataku, namun tak mampu rasanya aku membendung. Sekian lama kita tak bertegur sapa, aku hanya bisa tersenyum saat melihat sosokmu dari kejauhan. Kau seperti sedang bahagia. Sukurlah. Aku senang bila memang kau bahagia. Apa lah gunanya aku bersusah menahan perasaanku bila kau pun tak bahagia? Lagu itu berakhir dengan kalimat, “Memang kita takan menyatu.” :)

Teruntuk Bangsaku Indonesia

Sebuah syair yang terserak di makam Westminster Abbey, Inggris 1100M:
HASRAT UNTUK BERUBAH!
Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin mengubah dunia.
Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah.
Maka cita-cita itu pun agak kupersempit, lalu kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku.
Namun nampaknya, hasrat itupun tiada hasilnya.
Ketika usiaku semakin senja, dengan semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang yang paling dekat denganku.
Tetapi celakanya, mereka pun tidak mau diubah!
Dan kini, sementara aku berbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari:
"Andaikan yang pertama-tama kuubah adalah diriku.  Maka dengan menjadikan diriku sebagai panutan,  mungkin aku bisa mengubah keluargaku. Lalu, berkat inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi akupun mampu memperbaiki negeriku. Kemudian siapa tahu, aku bahkan bisa mengubah dunia!"
Tiap-tiap kita adalah seorang pejuang bahkan dari sebelum kaki, tangan, dan kepala terbentuk. Ingatkah saat kau mengalahkan jutaan sel sperma yang sangat bernafsu ingin menghirup udara bumi? Dengan gagah berani kau menyingkirkan berbagai halang rintangan demi mengendap selama 9 bulan di rahim ibumu. Tidakkah kau bangga setelah melewati bermacam kesulitan hingga kini kau berhasil menginjakkan kaki di atas permukaan bumi? Lantas mengapa sekarang kau hanya duduk diam dan tak bergerak mengembalikan masa-masa kemenanganmu? Bukankah seharusnya kau sisingkan lengan bajumu dan bersihkan debu yang menyangkut di sikumu?
Pernahkah kau berpikir mengapa tanganmu mengepal ketika kau dilahirkan? Karena kau ada di dunia bukan untuk menjadi seorang peminta tetapi menjadi pejuang penuh semangat walau harus kau cucurkan air mata. Lantas kemana kepalan itu sekarang? Mengapa tanganmu hanya menengadah dan kau palingkan wajahmu dari matahari panas yang akan segera membakar teman-teman seperjuanganmu? Bukankah seharusnya kau bangun dan mengubah dunia ini menjadi firdaus bagi dirimu dan orang-orang disekitarmu?
Ingatkah kau bagaimana pendahulumu sibuk menyeka keringat yang mengucur deras  dari dahinya demi tanah yang kini kau pijak? Atau sudah lupakah kau dengan sejarah itu? Tak perlu kau angkat bambu runcing dan bergerak di bawah tanah seperti yang mereka lakukan dahulu untuk menjadi seorang pahlawan sejati. Cukup kau tegakkan saja kepalamu dan ikat erat dengan tali lambang semangat lalu ayunkan kakimu menuju garis terdepan. Ijinkan bahadur-bahadur di langit sana merasa bangga atas dirmu.
Kita bukanlah sebatang kayu kecil lapuk yang pasrah bila dihinggapi rayap. Kita ada bukan untuk diam digerogoti waktu. Kita adalah benih-benih kecil yang akan tetap tumbuh dibawah terik matahari dan limpahan hujan. Ada bukan untuk mati tapi ada untuk menarik nafas kehidupan. Jangan biarkan dunia menelan hatimu, maka bergeraklah dan hantam serdadu-serdadu munafik demi keindahan bangsamu dan duniamu.

Jumat, 19 Oktober 2012

Eca

Seperti Eca yang ketika dia ingin memainkan sebuah pisau, ibunya langsung mengambil pisau itu dengan segera agar tidak sampai melukai Eca.

Eca gadis mungil berumur 3 tahun nan lincah sering bermain kesana-kemari menikmati dunia kanak-kanaknya. Seperti anak kecil lainnya, ia menikmati tiap detik waktu yang didapatkannya dengan riang. Ibunya mempunyai peran yang penting dalam masa kanak-kanak Eca. Mengawasi, melindungi dan menenangkan senantiasa menjadi tugas rutin sang ibu.
Suatu ketika saat asik bermain, Eca melirik sebilah pisau dan berniat untuk memainkannya. Dengan polos ia mengambil pisau tersebut dan memegangnya. Saat itu juga ibunya dengan sigap mengambil kembali pisau tersebut dari tangan Eca, halhasil Eca menangis karena merasa ibunya telah merebut mainan baru miliknya. Eca akhirnya merajuk.
Untuk beberapa waktu Eca tidak mau menegur ibunya. Sang ibu datang kepadanya dan membujuk Eca agar tidak merajuk lagi. Setelah lama dibujuk, Eca akhirnya memutuskan untuk kembali kepelukan kasih ibu.
Kita sering merasa apa yang kita inginkan atau senangi adalah suatu hal yang baik dan pantas untuk kita dapatkan. Seperti Eca, terkadang kita tidak tahu bahwa justru hal yang kita inginkan tersebut bisa saja menyakiti bahkan membunuh kita. Biasanya kita akan kokoh dengan keinginan hati dan mencari cara agar kita mendapatkan hal tersebut. Kita akan berdoa dan meminta agar apa yang kita mau dikabulkan. Ketika permintaan kita dalam doa tidak dikabulkan, bagaimana respon kita?
Hari itu aku pernah berdoa, “Ya, Bapa aku meminta pada-Mu.” Setiap hari aku minta, minta, dan minta. Sampai pada akhirnya aku tahu permintaanku tidak dikabulkan. Aku kecewa. Aku merasa itu bukan permintaan yang buruk, tapi mengapa tidak dikabulkan?
Aku putuskan untuk berhenti berdoa. “Aku lelah meminta.”, keluhku dalam hati. Aku merajuk sama seperti Eca. Hari demi hari aku lewati tanpa relasi dengan-Nya, aku seperti preman yang berjalan tegap seolah-olah apapun mampu aku hadapi sendiri. Ternyata aku menjadi jauh lebih lelah. Aku mulai berpikir, “Apa yang sedang aku lakukan ini? Mana mungkin aku mampu melangkah tanpa Dia.”
Aku diingatkan, apa yang aku minta pastilah bukan yang terbaik untukku. Aku memang kecewa namun aku juga sadar Tuhan lebih tahu apa yang pantas untukku. Seperti ibu Eca yang selalu melindunginya, seperti itu juga Tuhan menjaga kita. Tuhan tahu kita menyukai hal tersebut, tapi Ia juga tahu bahwa hal itu tidak baik untuk kita, maka Ia menjauhkannya dari kita.
Merajuk seperti Eca mungkin sering kita lakukan di hadapan Tuhan. Tapi Ia selalu merangkul kita kembali, memeluk dan mengasihi kita. Tidak ada pilihan karena kita memang harus datang kepelukan-Nya. Dia dan hanya Dia yang mampu memenuhi segala hal yang kita butuhkan, mampukah bila kita terlalu lama merajuk pada-Nya?
Eca pada kisah hidupnya yang lain, sering merajuk pada sang ibu. Namun dengan kasih, ibunya selalu bahkan berkali-kali merayu Eca agar tidak merajuk lagi. Akhirnya Eca juga harus merobohkan keras kepalanya ketika ia butuh disuapi makanan oleh ibunya. Kita bisa melihat, bahwa Eca yang berumur 3 tahun ini sadar kalau ia membutuhkan ibunya dan tidak sanggup bila harus berlama-lama merajuk karena segala hal yang Eca butuhkan ada pada ibunya.
Tuhan senantiasa akan membujuk kita kembali agar datang ke pelukan kasih-Nya. Kita harus mendatangi pelukan itu, karena kita akan merasa lapar bila tidak datang.

Selasa, 16 Oktober 2012

Tiga Tahun SBY-Boediono


Sudah lama ku menanti dirimu tak tau sampai kapankah?
Sudah lama kita bersama-sama tapi segini sajakah?
Entah sampai kapan...entah sampai kapan...
Cuplikan lagu Vierra ini seperti menyatakan luapan perasaan masyarakat Indonesia terhadap masa pemerintahan SBY-Boediono. Tiga tahun sudah kita rakyat Indonesia berada di bawah kepemimpinan SBY-Boediono, bergelut dengan penantian sebuah perubahan yang tak kunjung berakhir. Tentunya dalam waktu yang cukup panjang ini menimbulkan banyak kritikan dari berbagai pihak, apalagi jika kita mengingat bagaimana visi dan misi dari pasangan ini pada masa kampanye lalu, sebagai berikut:
§  Visi: Terwujudnya Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur.
§  Misi: Mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera, aman, dan damai dan meletakkan fondasi yang lebih kuat bagi Indonesia yang adil dan demokratis.
Lantas, apakah sudah sesuai visi dan misi tersebut dengan apa yang rakyat Indonesia rasakan sekarang? Seperti yang kita lihat Indonesia kini terutama di hadapan media massa adalah Indonesia yang “bobrok”. Sebagai masyarakat awam yang hanya bisa mengorek informasi dari media massa tentunya kita juga akan sependapat dengan media massa. Mulai dari permasalahan ekonomi yang sangat tidak menunjang rakyat kecil sampai pada kasus korupsi yang sedang booming hingga kini belum dapat dituntaskan.
Namun sebagai rakyat Indonesia, kita juga tidak akan menutup mata dengan kelebihan masa pemerintahan SBY-Boediono. Sesuai data yang diperoleh dari riset politik Charta Politika Indonesia yang digelar 8-22 Juli 2012, 35,7 persen responden cenderung puas dengan pemerintahan sekarang, yakni dalam hal pendidikan, kesehatan serta keamanan. Kita semua tentu tidak ingin angka kepuasan ini hanya berhenti pada titik 35,7 persen. Jelas, bahkan sangat jelas perlu perbaikan dalam pemerintahan sekarang.
Kembali ke lirik Vierra, apa hanya “segini sajakah” yang mampu SBY-Boediono lakukan? Sampai kapan kita menunggu untuk Indonesia yang lebih baik? Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II hanya tinggal dua tahun lagi, sudah pasti kita semua berharap kedepannya pemerintahan SBY-Boediono bisa mewujudkan visi dan misinya lebih konkret lagi.

Rindu

Salah siapa kalau rindu tak bisa dibendung? Hati ini, andai hati ini tak ku miliki mungkin tak akan sesakit ini jadinya. Sekarang pertarungan batin yang hebat menggusarkan jiwaku. Antara bertahan dan mundur. Tentu aku tidak suka bila kalah, tapi sepertinya rindu meminta ku untuk kalah. Tidak, aku akan menang. Rindu tak akan mengalahkan ku. Sejauh ini aku masih bertahan dan seterusnya aku harus bertahan demi menepati janji pada diriku sendiri.
 
Ketika rindu harus ku lawan. Berat memang. Ku tahan nafasku ketika akan memikirkannya. Ku urungkan niatku sedapat mungkin kala aku ingin berjumpa. Ku tarik rangkaian angan yang indah dan bersiap ku lemparkan ke semak sepi di sudut hatiku. Ingin ku teriakkan jika aku rindu. Bolehkah?
 
Aku rindu...tak bisakah kau cukup mengerti itu?

 

Jumat, 12 Oktober 2012


Cerita ini adalah fiktif belaka, mohon maaf apabila ada kesamaan nama, tokoh, karakter ataupun peristiwa (*perasaan ceritanya gk pake majang nama siapa-siapa, dari judulnya aja udah keliatan wuuhahahaahhhaahhah :D)

Cerita Tanpa Nama

Cinta adalah sebuah perasaan, begitu dalam hingga terkadang sulit dikendalikan. Menurutku, cinta adalah suatu rasa yang datang dari-Nya untuk dijaga sebaik-baiknya dan dinikmati keindahannya. Cinta itu suci bagi mereka yang tulus, cinta itu kotor bagi mereka yang mengutamakan nafsu. Aku belum begitu paham tentang cinta, tapi setidaknya aku pernah berpikir kalau aku tengah merasakan sebuah cinta. Mungkin pemikiranku masih terlalu pendek, “Aku hanya ingin bersama dia selamanya, hanya dia.” Ya, kalimat seperti ini belum cukup membuktikan kalau ini cinta. Aku terlalu kekanak-kanakan jika berpikir ini cinta. “Aku tidak pernah berpikir untuk mendapatkan yang lebih baik, kalau pun ada yang lebih baik aku hanya akan memilih dia.” Kalimat seperti ini pun belum bisa membuktikan kalau ini cinta. Lalu apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkan kalau ini memang cinta? Aku berdoa, ya aku bertanya pada-Nya.
Siang itu aku duduk sendiri di atas kursi kayu sambil menatap ke langit biru penuh awan. Aku lepas semua lelahku, berpikir kalau kebahagiaan akan datang. Ku tarik nafas dalam-dalam dan ku lepaskan berharap segala kesakitan di hatiku ikut terbawa oleh hembusan nafasku. Aku putuskan untuk tersenyum dan menatap ke depan. Tatapanku berhenti pada seseorang yang tiba-tiba menyapaku. Ku balas sapaanya dengan biasa bahkan dengan sangat biasa. Sedikit pembicaraan kami lakukan yang bahkan aku tidak peduli dengan isi pembicaraan itu. Aku hanya membiarkan itu semua mengalir.
Beberapa hari kemudian aku kembali bertemu dengannya. Hanya sebuah pertemuan singkat hingga kami hanya sempat bertegur sapa lewat senyuman. Sebenarnya aku mulai penasaran dengan pria ini, tapi hanya sebatas penasaran dan ku putuskan untuk tidak peduli lagi. Aku jalani hari-hariku seperti biasanya hingga aku lupa kalau aku baru saja mendapatkan seorang teman baru.
Aku ingat saat pertama kali aku memasuki kampus ini. Dengan nuansa damai aku berkenalan satu-persatu dengan teman-teman dari negeri rantau arah utara. Aku masih ingat tentang pembicaraanku dengan seorang sahabat, “Lihat tuh, dia keren.” Ya, setidaknya ini kalimat yang aku ingat dari sahabatku itu. Dengan remeh ku jawab, “Keren dari mana? Jelek gitu.” Sahabatku dengan gigih terus mempertahankan pendapatnya tentang pria tadi. Aku hanya bisa mengeleng-gelengkan kepala.
Pria yang sama. Dia yang menyapaku saat itu dan dia yang penampilan fisiknya aku remehkan sejak pertama kali melihatnya.
Lambat laun entah bagaimana caranya aku menjadi dekat dengan pria itu. Sejujurnya aku nyaman, bahkan sangat nyaman. Tak ada hari tanpa dia walau hanya sebatas pembicaraan semu dengan beberapa alat komunikasi. Dia menemaniku setiap saat, mendengarkan keluhku, dan memberi keceriaan tersendiri untuk ku. Sedikit demi sedikit aku bisa melupakan penat yang ku rasakan karena dia ada di sampingku. Dia dan segala keanehannya senantiasa mewarnai hari-hariku yang sepi.
Sekarang aku menatapnya berbeda. Pemikiranku masih berkata hal yang sama, dia tidak tampan sama sekali. Tapi sesuatu yang lain ada pada dirinya, kebaikan dan kecerdasannya. Aku suka dua hal itu tampak nyata pada dirinya.
Aku kembali teringat saat pertama kali dia menyapaku. Waktu itu dia mengenakan pakaian serba putih. Ya, sedang diadakannya ujian. Bagiku itu hari yang cukup penting karna itu adalah hari pertama aku mengikuti ujian di tempat ini. Saat akan menghampiri kelas tak sengaja bertemu dengannya dan ketika itu dia hanya tersenyum padaku. Ya, ini pertama kalinya kami bertegur sapa, bukan di waktu siang saat aku memutuskan untuk melepas semua susahku.
Kedekatan ini menjadi kian berarti bagi ku. Hadirnya semakin ku harapkan. Malam itu aku sedang menikmati indahnya sunyi. Sedikit berkhayal akan adanya seseorang yang datang mengisi malam senyapku. Terdengar suaranya memecah keheningan. Sungguh lembut dan hangat suara itu, sedikit malu-malu tapi penuh keyakinan. Hanya tiga kata berbunyi, “Mau jadi pacarku?” Aku terdiam sejenak, seperti duniaku sedang digoncang. Kemudian jawabku, “Ya, aku coba.” Tanpa sadar, hari itu menjadi hari pertama aku menyakiti perasaannya dengan kalimat singkatku itu. Kata coba yang keluar dari mulutku terkesan seperti tidak mempercayainya. Dan sejujurnya, bukan aku tidak percaya hanya aku terlalu takut jika nanti dipermainkan seperti yang sudah pernah ku alami sebelumnya.
Hari demi hari kami lewati bersama, hanya satu yang aku rasakan “jenuh”. Aku sadar bahwa kejenuhan itu ada karna aku belum menyerahkan hatiku sepenuhnya untuk hubungan ini. Tidak seharusnya aku bersikap seperti ini, namun perasaan takut itu terus mendorongku untuk melakukannya. Aku belum bisa berhenti dari ketakutanku saat itu, sampai akhirnya dia menarikku keluar dan memberi keberanian serta keyakinan pada ku yang berujung sia-sia.
Kejenuhanku seperti deburan ombak yang tak mampu lagi ku jangkau entah sejauh mana ia akan berhenti memecah laut. Sering ku pandang wajahnya, ku genggam tangannya, ku pikirkan segala yang baik tentang dia, berharap dengan begini aku bisa mencintainya dengan tulus dan sepenuh hati. Namun rasa takutku terlalu kuat untuk aku kalahkan.
Pada akhirnya hubungan ini hanya seperti sebuah kesenyapan. Sunyi, sepi, hening, diam, dan lelah. Yang aku lakukan hanya menyakitinya dan terus menyakitinya. Semakin lama sikapku menjadi semakin dingin hingga aku tidak lagi kelihatan seperti kekasihnya.

“Tuhan, aku sadar bahwa aku sudah tidak pantas baginya dari awal kami membicarakan cinta. Jika memang hadirku hanya untuk menyakitinya biarlah aku mencoba pergi. Aku tahu bukan kehendak-Mu kami bersama sekarang walau hatiku terus menuntut kehadirannya.

Ketika itu ku putuskan untuk mengakhiri hubungan ini. Bodohnya aku yang tidak memikirkan keadaannya nanti setelah semua ini berakhir. Aku pergi begitu saja tanpa ada kata. Rasa sakit terbesar dari ku untuknya pada hari itu.
Kembali aku menatap langit biru. Pemandangan yang amat ku suka ketika langit terang penuh awan. Indahnya dunia ini, di atas ada biru, putih, kuning, di bawah ada coklat, hitam, hijau, semua penuh warna. Betapa beruntungnya aku diciptakan Tuhan sebagai manusia hingga bisa menikmati semua ini. Pantaskah jika aku masih melawan kehendak-Nya? Saat Dia berkata tidak untuk sesuatu yang ku pinta, wajarkah jika aku melawan?
Hari-hari ku kembali sepi, aku merindukannya. Walau aku pergi namun dia tetap setia berada di sampingku. Bagaimana mungkin aku akan jauh jika hanya hadirnya yang mampu menenangkanku? Seiring berjalannya waktu kami pun menjadi dekat kembali. Bukan sebagai kekasihnya tapi lebih dari itu yang ku rasa.

 “Tuhan, aku belum bisa jauh darinya. Ampuni aku.”

Aku melawan-Nya. Suatu malam aku pernah berdoa, ku sampaikan ucapan syukurku dan ku ceritakan segala keluhku. Kejenuhanku, kebingunganku, dan ketakutanku, semuanya ku sampaikan pada-Nya. Tidak lupa ku tanyakan apakah benar pria itu pantas menjadi teman hidupku nanti. Tuhan memang tidak pernah menjawab langsung pertanyaan kita ketika kita sedang berdoa pada-Nya, aku tahu jelas tentang hal ini. Tuhan dengan banyak cara menjawabku pada saat itu. Hari demi hari ku pikirkan pertanyaanku pada-Nya dan hari demi hari pula Ia menjawabku dengan cara-cara spesial-Nya. Semakin lama semakin jelas jawaban itu bagiku. Tidak! Dia menjawab “tidak”pada ku.
Aku adalah manusia yang diciptakan-Nya, setiap nafas yang ku hirup adalah pemberian-Nya. Aku, nyawaku, hidupku ada ditangan-Nya. Aku paham betul semua hal ini. Namun sifat manusiaku terlalu dalam merasuki pikiranku. Jawaban tidak-Nya semakin hari semakin tidak ku acuhkan. Aku terus berjalan kedepan bersama keinginanku untuk terus dekat dengan pria itu seolah-olah aku mampu berjalan sendiri tanpa-Nya. Bodohnya aku yang adalah milik-Nya tapi memutuskan untuk menentang perkataan-Nya.
Kebodohanku tidak berujung sia-sia karna pada akhirnya aku merasakan akibat dari perlawananku. Kami memang masih bersama tapi yang terjadi hanya pertengkaran dan selalu pertengkaran. Lebih hening dari sebelumnya yang ku rasakan. Lebih tepatnya kacau, ya sekarang semua menjadi kacau. Semakin ku rasakan ada cinta tapi semakin memburuk hubungan ini. Aku sadar kalau aku menyayanginya dan aku tak rela bila harus kehilangan dia. Aku tau ini sebuah perlawanan, tapi sungguh hanya dia yang aku mau. Dengan keegoisanku terus aku paksakan menjalani hubungan ini walau aku dan dia sama-sama sudah tertatih-tatih.
Setiap manusia pasti memiliki titik jenuh, manusia hanya tidak tahu kapan kejenuhan itu akan terlihat. Begitu juga dengan pria itu, dia sampai pada titik akhir kejenuhannya tentang hubungan ini. Siang hari yang begitu panas karena kehadiran matahari. Tak ada awan yang melindungi ku dari teriknya dunia. Langit biru tua, terlalu polos. Sebuah pemandangan yang tidak aku suka. Laki-laki ini memutuskan untuk mengakhiri segalanya dengan ku. Seketika duniaku seperti runtuh tanpa ada sisa puing-puing sedikitpun.
Hari-hari ku semakin berantakan atau mungkin lebih tepat disebut menyedihkan. Sebuah kenangan yang aku punya yang akhirnya terus menusuk-nusukku berulang kali saat aku mengingatnya. Tidak cukup anugrah air mata memulihkan kepedihan yang ku rasakan.
 
“Tuhan, entah dari mana keyakinan ini ku dapatkan, tapi sungguh aku berpikiran kalau ini cinta. Bukankah perasaan ini datang dari Mu? Lantas kenapa Kau ambil kembali? Kenapa aku seperti dipemainkan oleh perasaanku sendiri?”

Aku seperti memberontak kepada penciptaku. Aku lontarkan pertanyaan-pertannyaan yang seolah-olah menyalahkan-Nya. Emosiku nyata berkuasa atas diriku. Aku kecewa, aku sedih, aku sakit. Tapi bukankah ini semua memang salahku? Bukankah sebelumnya Dia sudah mengingatkanku dengan berkata tidak pada doaku? Aku tidak mempunyai hak untuk menyesali apalagi marah pada-Nya. Hal terbaik yang harus aku lakukan adalah menghormati jalan yang telah Ia arahkan untukku.

Walupun demikian, aku akan terus berdoa pada-Nya agar melayakkanku dan pria itu untuk dipersatukan. Lebih dari itu biarlah kehendak-Nya yang nyata atas hidupku dan hidup pria itu. Aku belajar mencintai dan cukup puas dengan pembelajaran ini, untuk itu aku ucapkan terima kasih Tuhanku yang baik. Memang bukan sebuah akhir yang bahagia, bukankah setiap cerita tidak harus berakhir bahagia? Sebuah harapan tidak selalu bisa terwujud, ikhlaskah kita menerimanya?

“Tuhan, apa kesakitan yang ku rasakan ini sudah cukup membuktikan kalau ini cinta?”

Aku masih terbelengu dengan pertanyaan ini. Dia belum menjawab doaku, mungkin Dia sedang membiarkan ku menikmati proses yang harus ku lalui. Cinta memang sesuatu yang tidak mudah. Tapi bagi ku, cinta hanya tiga kata “aku dan kamu”.