Cerita
ini adalah fiktif belaka, mohon maaf apabila ada kesamaan nama, tokoh, karakter
ataupun peristiwa (*perasaan ceritanya gk pake majang nama siapa-siapa, dari
judulnya aja udah keliatan wuuhahahaahhhaahhah :D)
Cerita Tanpa Nama
Cinta adalah sebuah perasaan, begitu
dalam hingga terkadang sulit dikendalikan. Menurutku, cinta adalah suatu rasa
yang datang dari-Nya untuk dijaga sebaik-baiknya dan dinikmati keindahannya.
Cinta itu suci bagi mereka yang tulus, cinta itu kotor bagi mereka yang
mengutamakan nafsu. Aku belum begitu paham tentang cinta, tapi setidaknya aku
pernah berpikir kalau aku tengah merasakan sebuah cinta. Mungkin pemikiranku
masih terlalu pendek, “Aku hanya ingin bersama dia selamanya, hanya dia.” Ya,
kalimat seperti ini belum cukup membuktikan kalau ini cinta. Aku terlalu
kekanak-kanakan jika berpikir ini cinta. “Aku tidak pernah berpikir untuk
mendapatkan yang lebih baik, kalau pun ada yang lebih baik aku hanya akan
memilih dia.” Kalimat seperti ini pun belum bisa membuktikan kalau ini cinta.
Lalu apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkan kalau ini memang cinta? Aku
berdoa, ya aku bertanya pada-Nya.
Siang
itu aku duduk sendiri di atas kursi kayu sambil menatap ke langit biru penuh
awan. Aku lepas semua lelahku, berpikir kalau kebahagiaan akan datang. Ku tarik
nafas dalam-dalam dan ku lepaskan berharap segala kesakitan di hatiku ikut
terbawa oleh hembusan nafasku. Aku putuskan untuk tersenyum dan menatap ke
depan. Tatapanku berhenti pada seseorang yang tiba-tiba menyapaku. Ku balas
sapaanya dengan biasa bahkan dengan sangat biasa. Sedikit pembicaraan kami
lakukan yang bahkan aku tidak peduli dengan isi pembicaraan itu. Aku hanya
membiarkan itu semua mengalir.
Beberapa
hari kemudian aku kembali bertemu dengannya. Hanya sebuah pertemuan singkat
hingga kami hanya sempat bertegur sapa lewat senyuman. Sebenarnya aku mulai
penasaran dengan pria ini, tapi hanya sebatas penasaran dan ku putuskan untuk
tidak peduli lagi. Aku jalani hari-hariku seperti biasanya hingga aku lupa
kalau aku baru saja mendapatkan seorang teman baru.
Aku
ingat saat pertama kali aku memasuki kampus ini. Dengan nuansa damai aku
berkenalan satu-persatu dengan teman-teman dari negeri rantau arah utara. Aku
masih ingat tentang pembicaraanku dengan seorang sahabat, “Lihat tuh, dia
keren.” Ya, setidaknya ini kalimat yang aku ingat dari sahabatku itu. Dengan
remeh ku jawab, “Keren dari mana? Jelek gitu.” Sahabatku dengan gigih terus
mempertahankan pendapatnya tentang pria tadi. Aku hanya bisa mengeleng-gelengkan
kepala.
Pria
yang sama. Dia yang menyapaku saat itu dan dia yang penampilan fisiknya aku
remehkan sejak pertama kali melihatnya.
Lambat
laun entah bagaimana caranya aku menjadi dekat dengan pria itu. Sejujurnya aku
nyaman, bahkan sangat nyaman. Tak ada hari tanpa dia walau hanya sebatas
pembicaraan semu dengan beberapa alat komunikasi. Dia menemaniku setiap saat,
mendengarkan keluhku, dan memberi keceriaan tersendiri untuk ku. Sedikit demi
sedikit aku bisa melupakan penat yang ku rasakan karena dia ada di sampingku.
Dia dan segala keanehannya senantiasa mewarnai hari-hariku yang sepi.
Sekarang
aku menatapnya berbeda. Pemikiranku masih berkata hal yang sama, dia tidak
tampan sama sekali. Tapi sesuatu yang lain ada pada dirinya, kebaikan dan
kecerdasannya. Aku suka dua hal itu tampak nyata pada dirinya.
Aku
kembali teringat saat pertama kali dia menyapaku. Waktu itu dia mengenakan
pakaian serba putih. Ya, sedang diadakannya ujian. Bagiku itu hari yang cukup
penting karna itu adalah hari pertama aku mengikuti ujian di tempat ini. Saat
akan menghampiri kelas tak sengaja bertemu dengannya dan ketika itu dia hanya
tersenyum padaku. Ya, ini pertama kalinya kami bertegur sapa, bukan di waktu
siang saat aku memutuskan untuk melepas semua susahku.
Kedekatan
ini menjadi kian berarti bagi ku. Hadirnya semakin ku harapkan. Malam itu aku
sedang menikmati indahnya sunyi. Sedikit berkhayal akan adanya seseorang yang
datang mengisi malam senyapku. Terdengar suaranya memecah keheningan. Sungguh
lembut dan hangat suara itu, sedikit malu-malu tapi penuh keyakinan. Hanya tiga
kata berbunyi, “Mau jadi pacarku?” Aku terdiam sejenak, seperti duniaku sedang
digoncang. Kemudian jawabku, “Ya, aku coba.” Tanpa sadar, hari itu menjadi hari
pertama aku menyakiti perasaannya dengan kalimat singkatku itu. Kata coba yang
keluar dari mulutku terkesan seperti tidak mempercayainya. Dan sejujurnya,
bukan aku tidak percaya hanya aku terlalu takut jika nanti dipermainkan seperti
yang sudah pernah ku alami sebelumnya.
Hari
demi hari kami lewati bersama, hanya satu yang aku rasakan “jenuh”. Aku sadar
bahwa kejenuhan itu ada karna aku belum menyerahkan hatiku sepenuhnya untuk
hubungan ini. Tidak seharusnya aku bersikap seperti ini, namun perasaan takut
itu terus mendorongku untuk melakukannya. Aku belum bisa berhenti dari
ketakutanku saat itu, sampai akhirnya dia menarikku keluar dan memberi
keberanian serta keyakinan pada ku yang berujung sia-sia.
Kejenuhanku
seperti deburan ombak yang tak mampu lagi ku jangkau entah sejauh mana ia akan
berhenti memecah laut. Sering ku pandang wajahnya, ku genggam tangannya, ku
pikirkan segala yang baik tentang dia, berharap dengan begini aku bisa
mencintainya dengan tulus dan sepenuh hati. Namun rasa takutku terlalu kuat
untuk aku kalahkan.
Pada
akhirnya hubungan ini hanya seperti sebuah kesenyapan. Sunyi, sepi, hening,
diam, dan lelah. Yang aku lakukan hanya menyakitinya dan terus menyakitinya.
Semakin lama sikapku menjadi semakin dingin hingga aku tidak lagi kelihatan
seperti kekasihnya.
“Tuhan, aku sadar bahwa aku sudah tidak pantas baginya dari awal kami
membicarakan cinta. Jika memang hadirku hanya untuk menyakitinya biarlah aku
mencoba pergi. Aku tahu bukan kehendak-Mu kami bersama sekarang walau hatiku
terus menuntut kehadirannya.
Ketika
itu ku putuskan untuk mengakhiri hubungan ini. Bodohnya aku yang tidak
memikirkan keadaannya nanti setelah semua ini berakhir. Aku pergi begitu saja
tanpa ada kata. Rasa sakit terbesar dari ku untuknya pada hari itu.
Kembali
aku menatap langit biru. Pemandangan yang amat ku suka ketika langit terang
penuh awan. Indahnya dunia ini, di atas ada biru, putih, kuning, di bawah ada
coklat, hitam, hijau, semua penuh warna. Betapa beruntungnya aku diciptakan
Tuhan sebagai manusia hingga bisa menikmati semua ini. Pantaskah jika aku masih
melawan kehendak-Nya? Saat Dia berkata tidak untuk sesuatu yang ku pinta,
wajarkah jika aku melawan?
Hari-hari
ku kembali sepi, aku merindukannya. Walau aku pergi namun dia tetap setia
berada di sampingku. Bagaimana mungkin aku akan jauh jika hanya hadirnya yang
mampu menenangkanku? Seiring berjalannya waktu kami pun menjadi dekat kembali.
Bukan sebagai kekasihnya tapi lebih dari itu yang ku rasa.
“Tuhan, aku belum bisa jauh darinya. Ampuni
aku.”
Aku
melawan-Nya. Suatu malam aku pernah berdoa, ku sampaikan ucapan syukurku dan ku
ceritakan segala keluhku. Kejenuhanku, kebingunganku, dan ketakutanku, semuanya
ku sampaikan pada-Nya. Tidak lupa ku tanyakan apakah benar pria itu pantas
menjadi teman hidupku nanti. Tuhan memang tidak pernah menjawab langsung
pertanyaan kita ketika kita sedang berdoa pada-Nya, aku tahu jelas tentang hal
ini. Tuhan dengan banyak cara menjawabku pada saat itu. Hari demi hari ku
pikirkan pertanyaanku pada-Nya dan hari demi hari pula Ia menjawabku dengan
cara-cara spesial-Nya. Semakin lama semakin jelas jawaban itu bagiku. Tidak!
Dia menjawab “tidak”pada ku.
Aku
adalah manusia yang diciptakan-Nya, setiap nafas yang ku hirup adalah
pemberian-Nya. Aku, nyawaku, hidupku ada ditangan-Nya. Aku paham betul semua
hal ini. Namun sifat manusiaku terlalu dalam merasuki pikiranku. Jawaban
tidak-Nya semakin hari semakin tidak ku acuhkan. Aku terus berjalan kedepan
bersama keinginanku untuk terus dekat dengan pria itu seolah-olah aku
mampu berjalan sendiri tanpa-Nya. Bodohnya aku yang adalah milik-Nya tapi
memutuskan untuk menentang perkataan-Nya.
Kebodohanku
tidak berujung sia-sia karna pada akhirnya aku merasakan akibat dari
perlawananku. Kami memang masih bersama tapi yang terjadi hanya pertengkaran
dan selalu pertengkaran. Lebih hening dari sebelumnya yang ku rasakan. Lebih
tepatnya kacau, ya sekarang semua menjadi kacau. Semakin ku rasakan ada cinta
tapi semakin memburuk hubungan ini. Aku sadar kalau aku menyayanginya dan aku
tak rela bila harus kehilangan dia. Aku tau ini sebuah perlawanan, tapi sungguh
hanya dia yang aku mau. Dengan keegoisanku terus aku paksakan menjalani hubungan
ini walau aku dan dia sama-sama sudah tertatih-tatih.
Setiap
manusia pasti memiliki titik jenuh, manusia hanya tidak tahu kapan kejenuhan
itu akan terlihat. Begitu juga dengan pria itu, dia sampai pada titik akhir
kejenuhannya tentang hubungan ini. Siang hari yang begitu panas karena
kehadiran matahari. Tak ada awan yang melindungi ku dari teriknya dunia. Langit
biru tua, terlalu polos. Sebuah pemandangan yang tidak aku suka. Laki-laki ini
memutuskan untuk mengakhiri segalanya dengan ku. Seketika duniaku seperti
runtuh tanpa ada sisa puing-puing sedikitpun.
Hari-hari
ku semakin berantakan atau mungkin lebih tepat disebut menyedihkan. Sebuah
kenangan yang aku punya yang akhirnya terus menusuk-nusukku berulang kali saat
aku mengingatnya. Tidak cukup anugrah air mata memulihkan kepedihan yang ku
rasakan.
“Tuhan,
entah dari mana keyakinan ini ku dapatkan, tapi sungguh aku berpikiran kalau
ini cinta. Bukankah perasaan ini datang dari Mu? Lantas kenapa Kau ambil
kembali? Kenapa aku seperti dipemainkan oleh perasaanku sendiri?”
Aku
seperti memberontak kepada penciptaku. Aku lontarkan pertanyaan-pertannyaan
yang seolah-olah menyalahkan-Nya. Emosiku nyata berkuasa atas diriku. Aku
kecewa, aku sedih, aku sakit. Tapi bukankah ini semua memang salahku? Bukankah
sebelumnya Dia sudah mengingatkanku dengan berkata tidak pada doaku? Aku tidak
mempunyai hak untuk menyesali apalagi marah pada-Nya. Hal terbaik yang harus
aku lakukan adalah menghormati jalan yang telah Ia arahkan untukku.
Walupun
demikian, aku akan terus berdoa pada-Nya agar melayakkanku dan pria itu untuk
dipersatukan. Lebih dari itu biarlah kehendak-Nya yang nyata atas hidupku dan
hidup pria itu. Aku belajar mencintai dan cukup puas dengan pembelajaran ini,
untuk itu aku ucapkan terima kasih Tuhanku yang baik. Memang bukan sebuah akhir
yang bahagia, bukankah setiap cerita tidak harus berakhir bahagia? Sebuah
harapan tidak selalu bisa terwujud, ikhlaskah kita menerimanya?
“Tuhan,
apa kesakitan yang ku rasakan ini sudah cukup membuktikan kalau ini cinta?”
Aku
masih terbelengu dengan pertanyaan ini. Dia belum menjawab doaku, mungkin Dia
sedang membiarkan ku menikmati proses yang harus ku lalui. Cinta memang sesuatu
yang tidak mudah. Tapi bagi ku, cinta hanya tiga kata “aku dan kamu”.